*******
BILA ANDA tiba dipasar Sei Duri, singgahlah di
terminal. Anda akan melihat cukup banyak mobil-mobil type L300, pangkeng
(sejenis pick up, dipasang atap). Namun, bila anda berniat akan meneruskan
perjalanan ke Sabandut, anda naik saja pangkeng jurusan Sei Duri-Capkala. Ada
lima mobil yang hilir-mudik; Edo’, Boy, Awan, Siputih, dan Dugem. Dipastikan
anda akan sampai ke kampong tujuan. Jalan pun sudah aspal, namun lobang banyak
menganga, menunggu mangsa yang bernasib sial. Disepanjang jalan, anda akan
melintasi banyak pemukiman warga dari bermacam-macam kelompok etnik. Juga ada
hamparan sawah-sawah yang luas, dan mengingatkan kita pada secarik sejarah
peradaban, pertanian yang diperkenalkan Orang Cina kepada penduduk Kalimantan
Barat. Tak jauh dari pemukiman, disebelah kiri, ada empat buah pabrik tanah
liat, bahan baku pembuatan keramik.
Dulu, jalan menuju Mandor ini hanya tanah merah –
merekah – lengket dan menjengkelkan. Tahun 1987, jalan berubah menjadi aspal
setengah kasar. Pepohonan dulu menjulurkan dahannya melindungi jalanan dan
perkampungan, kini telah raib. Pohon berganti tiang-tiang listrik Negara. Itu
situasi empat tahun lalu, ketika saya pertama kalinya menginjakkan kaki
dikampung ini.
Di pusat kampong Mandor, tepat disimpang sebuah jalan
tanah, kalau perjalanan dilanjutkan, anda akan sampai di Sabandut. Orang Cina
menyebutnya Ha Bandut, Manur Ilir. Enam meter dari simpang Sabandut, berdiri
sebuah bangunan rumah. Warnanya biru laut, agak kusam. Sebelah kiri rumah,
berdiri menjulang sebuah tiang besi. Didepan bangunan kokoh itu, ada sebuah
warung kopi. Pemiliknya ibu Kacos.
“itu rumah pak Anam, tokoh masyarakat disini”
“itu antenna stasiun radio komunitas disini”
“namanya Rakom Suara Marige, frekwensi 107,4 FM”
“radio ini dibantu oleh LSM, namanya Yayasan
Pangingu Binua”
“kalau tidak salah, sudah ada sejak tiga tahun lalu”
Kacos, ibu pemilik warung didepan stasiun rakom.
Pendengar setia siaran radio ini. Hanya limapuluh centimeter dari studio radio,
muncul seseorang. Ia berkaca mata, tingginya juga biasa-biasa saja, cukup untuk
ukuran orang Indonesia. “Saya Anam” ujarnya memperkenalkan diri, ia mengulurkan
tangan. Bibirnya tersenyum. Sorot matanya lembut dan bersahabat. Kata Kacos,
Anam adalah salah seorang tokoh aktivis komunitas, hasil dari migrasi karena
perkawinan duapuluh delapan tahun silam. Sejak 2003, ia mulai terlibat aktiv
bersama Yayasan Pangingu Binua sebagai CO (Community Organizer) diwilayah ini.
*********
DUA puluh lima menit dari rumah Anam, rimbunan daun
asam raksasa membuat sesak, berserakan tak terurus disepanjang perjalanan.
Dikejauhan, jejeran pagar kayu binger (sejenis kayu local yang sangat kuat)
mengepung, tak jauh dari pemukiman padat penduduk. Jalannya berliku, mengikuti
tekstur tanah persawahan di kanan-kiri jalan. Bila hari hujan, tanah menjadi
semacam adonan lumpur yang menggelikan, melilit kaki. Pagi itu, burung oncet
(bahasa ilmiahnya…..) menambah riang. Oncet seenaknya bertengger di dahan-dahan
kayu kecil, persis depan sebuah bangunan tua, yang masih memancarkan sisa
keagungannya dimasa lalu. Di teras, seorang kakek muncul. Ia tersenyum, matanya
berkilat. Ia tersanjung, menyapa yang telah hadir. “saya Pak Ajung” jawabnya
singkat, memperkenalkan diri. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana
benglon pendek (celana yang terbuat dari kain karung gandum) berwarna putih dan
sudah mulai kusam.
“Inilah kampong Sabandut” katanya membuka
pembicaraan. Ia tertawa renyah, dibibir coklatnya terselip sebatang rokok
longlat yang menyala. (rokok ini yang terbuat dari daun nipah. Longlat
singkatan; digulung, dijilat, gambaran pelakunya ketika akan merokok). Dari
data desa setempat, Sabandut hanyalah salah satu dari tiga belas kampong kecil
yang tersebar disekitar pegunungan Batu Baya Komplek. Secara administrative,
Desa Sabandut Kecamatan Mandor Capkala Kabupaten Bengkayang. Sebelum pemekaran
dua tahun lalu, masih pemerintahan dusun, ada lima buah kampong tergabung.
Setelah pemekaran, menjadi pemerintahan desa.
Bila anda mau pergi ke Sabandut, jaraknya sekitar 8
kilometer dari pusat kecamatan di Mandor. Dapat dilalui dengan jalan darat,
khususnya berjalan kaki, sepeda engkol maupun sepeda motor. “bila dipaksakan
dapat pula menggunakan kendaraan roda empat” ujar Yeyen (27 tahun), pemuda
Kampung Jagu’, kampong tetangga. Penduduk Sabandut berjumlah 275 keluarga,
800-an jiwa. Dari segi etnik, umumnya etnik Dayak, Melayu dan sedikit Batak,
yang sudah menikah dengan penduduk setempat. Warga Sabandut sehari-hari
menyadap karet, sebagian besar bertani padi. Mereka membuka hutan untuk perladangan
dan mengusahakan lahan basah untuk persawahan. Hanya ada 7 warga yang membuka
toko, mereka menjual kebutuhan pokok. Toko juga menampung hasil karet. Untuk
berkomunikasi sehari-hari, digunakan bahasa bajare, berdialek Melayu Sambas.
Dialek ini agak beda dengan dialek bajare lainnya seperti yang saya temukan di
Mempawah Hulu bagian utara atau Samalantan.
Hampir semua warga mengenal Pak Ajung dengan baik.
“Ia tinggal disebuah pemukiman yang agak jauh dari
kampong, istilah lokalnya Parokng”, kata Sahidin Cogok (51 tahun), warga
Kampung Mototn Buliatn, 1 Km dari Sabandut. Tak jauh dari bangunan tua itu,
sebuah bukit berdiri dengan gagahnya. “seperti diapit tiga bukit” gumam saya.
Ya, mungkin cerita Anam ada benarnya. Menurutnya, kata Capkala berasal dari
bahasa Cina, Hiap Kala, yang berarti “terjepit diketiak”. Pak Ajung berdiri.
Telunjuk jari kanannya mengarah ke bukit itu.
“Namanya Bukit Gantekng Mare”
Ia terdiam, mencoba mengingat sejarah nenek
moyangnya. Matanya menerawang, keningnya berkerut. Bibirnya komat-kamit, ia
marapal sesuatu.
“dibukit itu, dulu ada sebuah kampong bernama
Sabiris. Warganya hidup dirumah bantang, 30 pintu, dipimpin oleh Ne Daem dan Ne
Lebe”
Menurut cerita kakeknya, dimasa kepemimpinan Ne Daem
dan Ne Lebe, warga hidup rukun dan damai. Untuk menjaga keamanan kampong, warga
mengangkat 3 orang pangalangok (panglima perang) yakni Ne Takah, Ne Riukng, dan
Ne Buliukng. Suatu ketika, warga Sabiris dikejutkan seseorang dihutan sedang
mengendap-ngendap. Karena mencurigakan, ia ditangkap dan dibawa ke kampong.
Pemuda itu bernama Nyapi, ia mengaku seorang anak kayo (salah satu rombongan
pengayau/pemburu kepala) dari tanah Banyuke yang tersesat. Karena berperilaku
baik dan mengesankan, Nyapi diajak tinggal oleh warga Sabiris.
“Ia tinggal sementara dengan Ne Daem, pemimpin
Sabiris ketika itu”
Di dekat kampung Sabiris, dilembah Bukit Gantekng
Mare, tinggal seorang gadis kayangan yang cantik jelita.
“Ia dikenal baik warga Sabiris, namanya Capala”
“Ia sangat cantik, kulitnya putih”
“Setiap hari, ia mandi disebuah riam, lembah bukit”
Suatu hari, Nyapi pergi ke hutan, mencari damar dan
burukng rangok (burung enggang). Tak dinyana, ia bertemu gadis itu. Nyapi
terpana dengan kecantikan Capala yang amat sempurna.
“Keduanya berkenalan dan saling tertarik”
“Namun Nyapi sadar, Capala bukan manusia biasa”
Perkenalan keduanya diketahui pemimpin bantang. Ne
Daem berinisiatif untuk menikahkan keduanya. Beberapa tahun menikah, tiada
seorangpun anak didapat. Nyapi sedih, padahal ia ingin keturunan yang berhak
mewarisi kemampuannya kelak.
“Ia mencari akal, agar istrinya mau diajak ke tanah
kelahirannya”
Pak Ajung terdiam. Matanya menerawang, mencoba
mengingat sesuatu. Tangannya asyik memilih rokok longlat, beberapa batang
disodorkan kepada saya.
“Namun,… Capala selalu menolak ajakan suaminya”
“Ia takut asalnya sebagai orang kayangan terbongkar
keluarga suaminya”
Nyapi tidak menyerah, ia terus membujuk istrinya.
Dan suatu hari, istrinya bersedia. Sepanjang perjalanan, muncul akal jahat
Nyapi.
“Tepat disebuah lokasi, di Kampung Parit Mas
sekarang, Nyapi nekad membunuhnya”
“Kepala sang istri kemudian hendak dibawanya ke
Menyuke”
Diperjalanan, Nyapi singgah di Pakana, kepala sang
istri diperlihatkannya dengan gagah kepada warga. Peristiwa pembunuhan Capala,
terdengar warga Sabiris. Mereka sepakat mencari Nyapi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa pemuda sakti dikirim, mencarinya
kehutan-hutan, menyeberangi sungai-sungai.
“Namun, pencarian ini sia-sia”
“tak ada informasi apapun didapat”
Karena lelah mencari, warga Sabiris memilih bakayo
(permusuhan) dengan orang Banyuke, daerah asal Nyapi. Bukan Nyapi namanya kalau
tidak bisa bersilat lidah. Karena takut bersua dengan Orang Sabiris
diperjalanannya kelak, di Pakana, Nyapi menceritakan bahwa di daerah Sabiris
banyak sekali musuh yang berusaha membunuhnya.
“Karuan saja orang Pakana terpancing dengan siasat
Nyapi ini”
“mereka (warga Pakana) mengutus orang-orang
terkuatnya untuk meneliti kekuatan anak kayo di Sabiris”
Pak Ajung menyerubut kopi panas yang terhidang. Ia
menyulut sebatang rokok merk Cakra, yang sengaja saya beli dua hari lalu.
“Penelitian diperlukan untuk mengatur strategi
peperangan nantinya”
“dari yang terbaik dari yang baik, terpilihlah Igak,
Dume, Duan, Ote (perempuan), Kunda (perempuan) dan Nanju sebagai tim
pangarentes (survey)”
Berhari-hari lamanya keenam orang ini berjalan
menuju Sabiris.Namun sesampainya di daerah yang dituju itu, keenam orang ini
tidak mendapati seorangpun warga Sabiris sebagaimana cerita Nyapi. Tidak
kembalinya tim pangarentes, dan tidak mau terlibat permusuhan yang
berkelanjutan antara warga Sabiris dan Menyuke, warga Pakana menginisiasi
sebuah upacara perdamaian di Kuala Mempawah.
“Nama adatnya “pasamean”.
“Peraga yang harus disiapkan adalah 1 buah siam
(tempayan)”
“Sababak pingatn putih (sebuah piring berwarna
putih)”
“Seko’ manok calah (seekor ayam jantan berwarna
merah)”
“Seko’ asu’ itapm (seekor anjing hitam)”
“Seko’ babotn itapm (seekor babi hitam)”.
Biasanya setelah adat pasamean, disusul adat “nyimah
tanah”. Maknanya agar ada perdamaian orang Menyuke dengan orang Sabiris serta
membersihkan tanah bekas pembunuhan Capala ditanah Gantekng Mare. “karena
sejarah ini, sampai sekarang kalau ada pemuda Sabandut yang menikah dengan
pemudi Banyuke, sebelum pesta perkawinan, dilakukan adat pasamean dulu”, ujar
Sirin Banding, Kepala Adat Mandor. Ia adalah salah seorang keturunan Menyuke,
dan pertama kali menyelenggarakan adat pasamean ketika menikah di Mandor.
Pada tahun 1740, 20 orang Cina didatangkan dari
Brunei oleh Sultan Sambas untuk bekerja di pertambangan emas Monterado.
Pedagang emas membuka pemukiman di Jam Tang (Singkawang), dan menyiapkan
rumah-rumah bordil dan gudang candu. Hampir setiap akhir minggu, para pekerja
tambang beristirahat di Jam Tang. Beberapa diantaranya kemudian memilih untuk
berdagang, dan membuka pemukiman baru di Sei Duri. Karena pedagang maupun
penambang ini bujangan, mereka kawin dengan penduduk setempat. Jumlah mereka
pun semakin bertambah. Pasar dibangun, rumah toko juga dibangun, mirip
pemukiman di Tiongkok, tanah air mereka. Menghindari peperangan sesama
penambang, termasuk ekspansi wilayah tambang, para pedagang dan pekerja tambang
ini membentuk kongsi Tai Kong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, anggota Kongsi Samto Kiaw dan Tai Kong di perkampungan sekitar
Monterado diserang Orang Dayak Saribas. Pemicunya adalah ketidakpuasan seorang
Dayak dari Saribas kepada majikannya. Disebuah toko, seorang pemuda asal
Kampung Saribas bekerja sebagai karani (pembantu).
“Ia telah bekerja selama 5 bulan, namun gajinya tak
pernah dibayar”
“Setiap kali meminta gajinya, tak ada jawaban pasti
dari majikan”.
“Ia sangat kesal, dan memilih pulang kampong” lanjut
Pak Ajung. Sekali lagi, ia menyerubut kopinya yang mulai dingin itu.
“nah, di kampong, pemuda ini “menasehati” para orang
tua”
“Jangan lagi mengirim anak bekerja sebagai karani
ditoko Cina”
“saya sudah tertipu”.
Kontan saja warga kampong geger. Mereka marah.
Beberapa pamarani (pemberani, bertemperamen keras dan kasar) bahkan mulai ada
niat untuk menuntut balas dengan mengusir orang Cina. Kesepakatan diperoleh.
Orang Cina harus diberi pelajaran. Tak lama, beberapa orang menggelar ritual
khusus.
“Ritual Mato’, namanya”
“Mereka juga mengedarkan Bun Ka (mangkok merah)”
“Ini bertujuan untuk memberitahu warga Dayak bahwa
mereka berniat akan menyerang Orang Cina di sekitar kampong-kampung Dayak”.
Malam hari, ratusan massa bergerak. Tangkitn
terhunus, kepala dibalut dengan tali dari kulit tarap. Sebagian besar membawa
tombak, tajam dan panjang. Rombongan merayap ditengah gelapnya malam dan
rerimbunan hutan belantara. Mereka tiba tepat pagi hari buta.
“aaauuuuuuu……aaaauuuuuuu….aaaauuuuuuuuu”
“aaaauuuuuu…aaaauuuuu….auuuuuuu”
Suaranya sesahutan, memecah keheningan pagi.
Kedatangan rombongan besar ini membuat warga Cina di Sabandut tidak mampu
menahan serangan, mereka melarikan diri. Serangan ini sangat keras dan
beringas.
“Ratusan keluarga Cina meninggalkan Sabandut dan
kampong-kampung sekitarnya”
“Mereka melarikan diri kehutan-hutan terdekat”
“sebagian memilih jalur sungai hingga tembus ke Sei
Duri”
“Sebagian kecil yang tetap bertahan tewas
menggenaskan, kepala terpisah dari raga”
Dengan waktu singkat, Kampung Sabandut dan
sekitarnya dikuasai. Sekelompok kecil dari massa yang dipimpin Ne Limo dan Ne
Rimong, masuk kerumah-rumah penduduk. Mereka menemukan dua keluarga.
“kalian orang Dayak ?”
“ya..kami Orang Dayak”
Dua keluarga luput dari pembantaian. Identitas
sebagai Dayak telah menyelamatkannya. Mereka adalah keluarga Kunda, yang
menikah dengan Orang Cina dan tinggal di Sinyaodakng, sekarang dikenal Pujung.
Tidak hanya Kunda yang selamat, keluarga Ote di Satanduk dan tinggal di Bukit
Kinae juga. Ia menikah dengan seorang pemuda Cina, penambang emas Monterado.
Kunda dan Ote, adalah dua anggota dari enam anggota pangarentes (kegiatan
survey/mematai-matai) dari Pakana, yang pernah ditugasi untuk “memata-matai”
kekuatan Orang Sabiris, atas laporan Nyapi. Rombongan kecil ini, takut dihukum
warga yang mengutusnya karena tidak berhasil mendapatkan informasi yang cukup
sesuai cerita Nyapi, memutuskan tidak kembali ke Pakana. Selain Ote dan Kunda,
anggota lainnya adalah Igak, Dume. Keduanya kemudian menetap di Manur. Beberapa
lainnya memutuskan untuk bermigrasi kehulu. Duan bermigrasi hingga menetap ke
Sajingan, sedangkan Nanju kemudian bermigrasi kehulu Sungai Sarangan dan
menetap di Bukit Sangkikng/Sadaniang”. Sepeninggal orang Cina, Ne’ Limo, Ne’
Rimong, Ote sekeluarga dan Kunda sekeluarga menetap dibekas pemukiman Cina ini.
Mereka inilah leluhur warga kampong Sabandut hari ini.
Puluhan tahun lalu, seorang gadis Sabandut hamil
diluar nikah. Perbuatan tercela ini sangat memalukan keluarganya, dan juga
warga kampong. Atas kesepakatan bersama, gadis ini “diusir”. Itulah hukuman
terbaik bagi para pelanggar adat.
“Gadis ini tidak lagi dianggap sebagai anak oleh
orang tuanya”
“Oleh orang sekampungnya dianggap sebagai Urakng
Laut”
Di kepulauan, gadis ini kemudian angkat oleh warga.
Ia dinikahkan dengan seorang pemuda setempat. Ketika anaknya menjadi dewasa, ia
kemudian bertanya kepada orangtuanya dari mana sebenarnya ia berasal.
“kamu asalnya Orang Darat”
“masih banyak keluargamu tinggal disana”
Tahu asal usulnya, timbul keinginan sang anak untuk
melihat dan kenal dengan keluarga besarnya di daratan. Tak sengaja, sebuah
kampong teruju. Kampung yang biasanya sepi, hari itu menjadi ramai. Mereka
menyambut ramah kedatangan seorang pemuda berkulit coklat, berbeda dengan warna
kulit mereka yang kuning langsat. Ia seorang pemuda sederhana, tinggal di
sebuah pulau, pinggiran Laut Cina Selatan, tak jauh dari Sei Duri sekarang.
Pemuda ini ahli dalam pembuatan kinsaratn, sebuah alat penggolahan padi menjadi
beras. Teknologi baru pertanian padi yang dibawa pemuda pulau ini, tentu saja
menarik perhatian warga lainnya yang masih menggunakan “lasukng” (lesung) untuk
menumbuk padi. Setiap tahun, menjelang musim panen padi, pemuda dipanggil.
“Ia selalu diminta membuatkan kinsaratn baru, maupun
memperbaiki yang dibuat sebelumnya”
“Namun, tetap saja keahliannya membuat kinsaratn
tidak mampu ditiru”
Suatu kali, pemuda ini diminta untuk menetap.
“kamu kami beri sebuah kawasan hutan, untuk
pemukiman baru”
“nanti, kami bantu membukanya, balasannya, kamu
ajari kami membuat kinsaratn”
Pemuda itu setuju, ia kemudian membawa serta
keluarganya. Anaknya empat, semua perempuan. Mat Kurau, ternyata adalah anak
pulau, ibunya pernah diusir dari Kampung Sabandut puluhan tahun itu. Ia
kemudian mengembangkan pemukiman baru, tak jauh dari Sabandut. Kini, pemukiman
itu dikenal dengan Pawangi. Warganya semua beragama islam, agama yang dibawa
Mat Kurau, dari pulau.
*******
SABANDUT MEMILIKi sejarah panjang dalam pembangunan
bidang pendidikan. Sebelum kemerdekaan Indonesia, sudah ada sekolah dasar yang
didirikan oleh misi Katolik dan orang-orang Cina di Singkawang, antara lain di
Kampung Pak Nibatn dan Satanuk. Sekolah-sekolah ini menggunakan dua bahasa,
bahasa Cina dan bahasa Melayu. Ketika Jepang menguasai perkampungan, anak-anak
sekolah terpaksa berhenti. Guru-guru banyak ditangkap, termasuk pastor yang
berkebangsaan Belanda.
Ne Calek, salah seorang saksi sejarah. Ia ketika itu
masih sekolah, kelas 2 SR di Satanuk. Ketika bercerita, tawanya tertahan.
Matanya memerah. Ia teringat peristiwa yang menyedihkan kala itu. Bersama
ayahnya, Ne Calek setiap hari dipaksa bekerja di persawahan milik Jepang yang
sangat luas di daerah Malapis (sekarang daerah Sei Kunyit).
“Komandan Jepang itu bernama tuan Kasumi, pekerja
diawasi beberapa orang mandor”
“Mandornya orang laut (melayu)”.
Bersama penduduk lainnya, ia membajak sawah hingga
panen. Namun, padi tidak dibawa kerumah, semua diangkut tentara Jepang. Selama
membajak, pekerja diberi makan ala kadarnya.
“yang paling sering, ya, makan tamora’ (ubi kayu
kering dicampur beras)”.
Pakaianpun, terbuat dari balutan kulit tarap (kayu
terap), lemnya dari karet (lateks). Karena itu, bila kena hujan, pakaian
kamilepas-lepas hingga setengah telanjang. Tak lama, Jepang kemudian harus
menyerah kepada tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat. Sekolah-sekolah mulai
berbenah lagi, murid-murid dipanggil untuk bersekolah. Ne Calek memutuskan
melanjutkan, kelas dua. Ia juga masih ingat guru-guru yang mengajarnya kala
itu.
“Saya diajar oleh Siden (Satanuk), Manurung (Orang
Batak), Sundang (Sanggau Ledo), dan Dundang (Putusibau)”
“Mereka adalah alumni sekolah guru di Nyarumkop”
“Sekolah kami masih menggunakan rumah Tendek,
dikenal dengan Pak Jimah sebagai ruang belajar”
Menurut Ne Calek, kepala guru waktu itu Agustinus
Sundang.
“Ia berasal dari kampong Barimada, Ledo-Bengkayang”
“Ia alumni sekolah guru Nyarumkop tahun 1948”.
Dalam mengembangankan sekolah, Sundang tidak
sendiri. Bersamanya ada 5 pastor yang datang dua kali setiap bulan.
“Tetapi pastor khusus mengajar agama katolik”
“Saya sendiri dibaptis oleh pastor Albrick di
Nyarumkop pada tahun 1945”.
Selain Ne Calek, cukup banyak saksi sejarah yang
masih hidup. Salah satunya Mambah, warga Mandor. Ia mengaku pernah sekolah di
Pak Nibatn, tak jauh dari Sabandut.
“para guru dari Singkawang, mereka orang Cina”
“Didepan kelas, ada foto Mao Tse Tung, dan bendera
bintang lima”.
Namun, Mambah tidak selesai sekolah, ia harus
berhenti ditengah jalan, karena berkelahi dengan Lie Sin Sun, gurunya.
“saya terlambat, hujan sangat lebat”
“saya sampaikan alasan itu, tapi dia (gurunya)
justru memaki-maki”
“saya terhina, dan tak sengaja, saya tinju saja
mukanya hingga berdarah”
**********
RABAKNG hari itu sedang ramai. Nadin, warga setempat
mengadakan pesta perkawinan anaknya. Seorang gadis Sabiris, dengan
tertatih-tatih mendaki sebuah bukit. Ia mengunjungi Iyok, saudaranya di
Marinso, kampong tetangga.
Kebetulan ada pesta, kamu jadi petugas solo. Solo
dalam bahasa setempat berarti sumbangan warga yang hadir kepesta. Adat ini
sudah dilakukan masyarakat dayak Kanyatn sejak turun temurun.
” Gadis itu menyanggupi, walaupun masih setengah
hati. Demi menghargai kepercayaan saudaranya. Seorang guru muda ikut “ngoyokng”
(berkunjung) kepesta itu, ia mengajar di Nyawan sejak tamat SPG di Singkawang
tahun 1980. Nyawan adalah sebuah kampong tetangga, 2 jam perjalanan ke Rabakng.
Ketika akan “nyolo” (mengisi buku tamu dan memasukan amplop), matanya nanar. Ia
terkesima pada senyum manis sang petugas, gadis yang baru ia kenal.
“Itu awal kami kenal, setelah itu, yaaa….kami sering
ketemuan”
Ia tertawa mengingat peristiwa bersejarah dalam
hidupnya itu.Tak dinyana, jodoh sudah tergariskan. Sang guru muda memutuskan
untuk menikahi gadis itu. Pada 7 Maret 1981, pasangan ini diberkati secara
katolik oleh Pastor Frans Jansen, Pr dari Singkawang, di gedung SDN 01 Mandor.
Hari itu, ia resmi menjadi warga Sabiris. “Sejak menikah, saya mengajar di SDN
01 Mandor” katanya singkat. Ia tersenyum. Sebatang rokok LA light terselib
dibibirnya, asap mengepul keudara. Sejak tahun 1980-an, ada delapan (8) sekolah
dasar diseluruh Kecamatan Mandor-Capkala, yakni di Mandor, Capkala, Satanduk,
Aris, Sarangan, Parit Mas, Sabandut dan Medang. Sang guru muda itu, kini lebih
dikenal Martinus Anam.
Anam hanya empat tahun menjadi guru biasa, sejak
tahun 1985, ia diangkat menjadi Kepala SDN 07 di Mototn Buliatn. Ketika
menjabat kepala sekolah inilah, ia kemudian semakin aktiv memfasilitasi
pendirian sekolah lanjutan, salah satunya sebuah SMP di Mandor.
“Namanya SMP Purnama”
“Karena tidak ada guru yang sarjana, guru di SMP ini
juga guru SD terdekat”
“Ada 6 guru yang mengajar”
“Kala itu belum ada satupun SMP di Mandor, anak-anak
harus berjalan kaki sejauh 15 Km untuk sekolah di SMP Purnama Sei Pangkalan
atau 34 Km berjalan kaki untuk sekolah di SMP Dwi Dharma Sei Duri”
Segala keterbatasan sarana, tenaga pengajar dan
jumlah murid, tidak menyurutkan niat dan langkah Anam, ia tetap menekuni dan
berusaha keras agar SMP ini diakui pemerintah dan berkembang.
“Kami masih menggunakan gedung SDN 01 Mandor”
“Syukurlah, pihak sekolah mengizinkan untuk
pemakaian gedung”
Kini usaha yang dirintis Anam berkembang pesat.
Sejak awal 2008 lalu, gedung SMP sudah ada dua, SMP Purnama telah dinegerikan
menjadi SMPN 1 Capkala di Capkala dan SMPN 2 Capkala di Pawangi.
“Tahun 2006, kami juga mendirikan sebuah SMA di
Capkala”
“Namanya SMA St Kristoforus”
Namun sejak 2008, SMA ini kembali di negerikan oleh
pemerintah menjadi SMA Negeri 1 Capkala. Menurut Dionisius Frans Namhin, warga
Sarangan, pendirian sekolah-sekolah di Kecamatan Mandor Capkala sejak tahun
1990-an tak lepas dari peran Anam sebagai Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sei
Raya. Ia terpilih dalam Musyawarah Adat Dayak se-Kecamatan Sei Raya tahun 1997
lalu. Anam sadar dengan posisi politiknya ini. Ia tahu dari latar belakang
sejarah, Orang Sabiris umumnya bertemperamen keras dan militant.
“Syukurlah ada YPB, yang mau membantu” ujarnya,
suatu ketika.
YPB adalah sebuah LSM yang bergerak pada bidang
pembangunan perdamaian. Kantornya di Kampung Raba, Kabupaten Landak. Salah satu
kampong yang didampinginya adalah Sabandut, termasuk Mandor. Kelompok
sasarannya adalah komunitas multietnis.
“Sasaran YPB tepat, karena Mandor Capkala sangat
plural dari segi etnik”
“YPB juga berperan menjembatani masyarakat yang
berbeda suku dan agama disini (Mandor)”
Salah satu peran penting YPB, menurut Anam adalah
memfasilitasi sebuah Lokakarya Perencanaan Masyarakat Mutietnis tahun 2002 di
SDN 01 Mandor. Dalam lokakarya ini, peserta sepakat untuk mendeklarasikan
sebuah organisasi pemersatu. Berdirilah Forum Komunikasi Masyarakat Multietnis
(FKME) Tingkat Kecamatan Mandor-Capkala.
“Organisasi ini penting sebagai alat komunikasi
antar etnis yang ada”
“Selain sebagai jembatan, organisasi ini juga
sebagai alat untuk pengembangan kapasitas diri pelakunya”
Untuk menjaga roh perjuangan, peserta lokakarya
menyepakati agar figure yang dipilih sebagai pemimpin adalah figure yang diakui
semua kelompok etnik yang ada.
“Nah, figure yang tepat itu adalah Pak Anam” ujar
Sirin Banding, tokoh masyarakat Mandor.
Anam terpilih secara aklamasi sebagai Ketua FKME.
Dalam sambutannya pertamanya, Anam menyampaikan kepada forum bahwa Orang
Sabiris layak maju, sebab sejak lama Sabiris dikenal sebagai warga yang toleran.
“Namun, sekarang Sabiris sudah multietnis,
multiagama dan demikian juga multibudaya”
“Kalau mengatasi permasalahan, mereka tidak
segan-segan melakukan kekerasan bila jalan damai sulit ditempuh”
Komentar Anam mungkin ada benarnya. Menurut Pontius,
dalam bukunya “Sejarah Samalantan”, karakter orang Dayak yang keras ini
merupakan turunan dari peperangan demi peperangan yang teramat lekat sejak
masuknya Cina dikawasan pertambangan Monterado, ratusan tahun lalu. Mandor dan
Capkala, termasuk salah satu kampong Dayak yang “terengut” dalam kekuasaan
kongsi penambang yang berpusat di Monterado.
“Itulah sebabnya, Dewan Adat Dayak ini sangat
strategis untuk mengakomodir dan mengakselerasi semua kepentingan dan
permasalahan social-politik yang ada agar tidak merayap menjadi aksi kekerasan”
Sebagai Ketua tingkat kecamatan, Anam membawahi 2
wilayah adat yang dikenal sebagai Binua (sebuah bentuk pemerintahan local,
seperti pemerintahan desa sekarang ini), yakni Binua Atas dan Binua Bawah.
Lihat buku pemerintahan binua; terutama sejarah
binua, system pemerintahan dan kondisinya kini.
“Kepala Binua Atas sekarang dijabat Sucipto, ia
tinggal di Kampong Kucipu”.
“wilayah binua ini meliputi 3 desa; Desa Aris ketua
adatnya Pak Olan, Desa Setanduk Kepala Adatnya Untek/Pak Orot dan Desa Capkala,
Kepala Adatnya Sucipto sendiri, merangkap Kepala Binua”.
“…sedangkan Kepal Binua Bawah dijabat oleh Sirin
Banding, ia tinggal di Kampung Manur Dalapm”.
“ wilayahnya terdiri dari Desa Mandor, ia sendiri
merangkap Kepala Adatnya, Desa Sabandut dijabat oleh Besli Sihombing sebagai
Kepala Adat dan Desa Pawangi, karena desa ini mayoritas Etnik Melayu, maka
tidak diangkat Kepala Adatnya”
**********
DI SABANDUT, masyarakat yang terdiri dari kelompok
etnik yang berbeda dapat bersatu. Tidak hanya Dayak dan Laut (Melayu) yang
tinggal di Sabandut. Ditengah ratusan keluarga ini, ada 5 keluarga Batak yang
telah menyatu didalamnya. Mereka dikenal sebagai Sihombing bersaudara. Adalah
Jansen Sihombing, bekas tentara, yang melarikan diri ketika terjadi Perang
Jepang tahun 1942. Jansen berasal dari Pahae, Sumatera Utara. Ia pertama kali
menetap di Kampung Nyong Seng, sekarang dikenal sebagai Kampung Pak Nibatn.
Ketika menjadi guru di SD Pak Nibatn, ia menikahi gadis Dayak asal Kampung
Batas Rancang bernama Longkes. Dari perkawinannya ini, Jansen memiliki empat
orang anak laki-laki,yakni Besli Sihombing, Beto Sigombing, Markus Sihombing
dan Kimler Sihombing. Pension jadi guru tahun 1970, Jansen terjun kedunia
politik. Ia masuk pengurus partai politik yang baru berfusi, Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) hingga akhir hayatnya.
Garis politik Jansen diikuti anak-anaknya, sekarang
mereka menjadi pengurus PDI Perjuangan ditingkat kecamatan. Karena berdarah
politik, anak-anak Jansen sebagian menjadi “orang penting” di Sabandut. Besli
Sihombing, anak tertuanya pada pemilihan tanggal 5 Juli 2004 lalu, terpilih
sebagai Kepala Adat Sabandut. Besli mengalahkan Amet Sulang, pejabat lama,
orang Dayak asli.
“selisih suara hanya 3 suara, dari 100 pemilih yang
ada”
“satu orang calon, Lamri, menyatakan mundur sebelum
pemilihan”
Sebelum menjadi Kepala Adat, Besli menjabat sebagai
Ketua II Badan Perwakilan Desa Mandor (sebelum pemekaran). Dalam mengatur adat
dan hokum adat, Besli memiliki buku berjudul “Simpado”, sebuah buku hasil
rumusan tetua-tetua adat di Ngabang. Buku ini terbitan Dewan Adat Dayak
Kanayatn Kabupaten Pontianak, 1987 silam.
“buku inilah yang menjadi pegangan saya dalam
memutus perkara”
Dalam menyelesaikan perkara berat, Besli tak
segan-segan berkoordinasi dengan Dewan Adat Dayak kecamatan. Besli tidak
bekerja sendiri, dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh dua orang pejabat yang
diangkatnya, yakni Ahian Codak diangkatnya sebagai juru tulis (sekretaris) dan
Sabet sebagai pangarah tahutn (urusan pertanian). Namun, Besli mengaku, selama
empat tahun menjabat, ia tidak pernah menemukan kendala dari warga yang
mayoritas Dayak.
“ Sabandut merupakan kampong yang aman, tidak pernah
ada kasus-kasus atau pelanggaran social”
Besli kini menjadi Mandor, disebuah perkebunan
kelapa sawit di Sabandut yang baru berperasi Maret 2008 lalu. Ia membawahi
100-an pekerja. Berbeda dengan abangnya yang menjadi Kepala Adat, Beto
Sihombing sukses menjadi salah satu dari tujuh pedagang besar di Sabandut.
“Beto gigih dalam berusaha, ia sangat ulet bekerja”
“wajarlah, ia mampu memiliki dua buah truk sebagai
alat pengangkut karet”
Selain berdagang, Beto juga aktif diorganisasi. Ia
dipilih anggota sebuah perkumpulan warga menjadi bendahara pada tanggal 1 April
2003 lalu. Perkumpulan ini mengelola sebuah group kesenian tradisional Dayak,
Jonggan. Grup music ini diberi nama “Jonggan Pangingu Batu Baya”. Tidak hanya
itu, Beto dan saudara-saudaranya juga aktif diorganisasi social lainnya, salah
satunya kelompok arisan.
“Ada empat kelompok arisan warga di Sabandut”
“PEGA, Persatuan Gawe Adat”
“BAPAKAT, PORSET dan TOGA PUNGUAN SIHOMBING, sebuah
organisasi persatuan marga Sihombing yang sudah terbentuk se-Kalimantan Barat
sejak tahun 1962”
Sejak pemekaran desa tahun 2007, terjadi pula
pemilihan Kepala Desa Sabandut yang baru, menggantikan Kalvianus Malik.
Pemilihan diadakan pada bulan Mei 2007. Ada 4 calon yang bertarung; Anto Situhu
Halawa, Alexius Laon, Yakobus dan Mahadi Jimat. Dalam pemilihan, Anto Situhu
Halawa ditetapkan sebagai Kepala Desa Sabandut terpilih. Terkait kemenangan
Anto, Beto Sihombing bercerita.
“saya termasuk tim sukses Anto. Saya menggunakan
jalur keluarga”
“SDM dikampung ini sangat rendah, jadi wajar saja
kalau Anto terpilih”
Anto Situhu Halawa, sebelumnya adalah seorang motivator
agama dan penginjil dari Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Sabandut. Ia menikah
dengan Tanggile’, seorang gadis Dayak dari Kampung Sabandut. Dari
perkawinannya, Anto memiliki dua orang anak. Sejak 31 Maret 2008 lalu, Beto
Sihombing menjadi pemasok belanja bagi sebuah perusahaan perkebunan kelapa
sawit, PT Lestari Alam Raya (PT LAR). PT LAR mengusahakan lahan seluas 14.000
Ha, pimpinan perusahaannya, Sihombing dan Aritonang. David Darol, bekas Kepala
Bappeda Bengkayang tercatat sebagai Kepala Hubungan Masyarakat (Humas).
Sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat, ketika PT
LAR masuk dan beroperasi, Martinus Anam menginisiasi pembentukan sebuah forum
warga yang diberinya nama “Tim Independen”.
“tugas anggota tim ini adalah memantau perkembangan
situasi, agar perusahaan tidak merugikan masyarakat”
“kami ingin menjadi mediator, bila nantinya ada
konflik perusahaan dengan masyarakat”
Organisasi ini dibentuk sejak bulan Mei 2008 lalu,
beranggotakan 5 orang tokoh masyarakat, termasuk Kepala Kepolisian Sektor
(Kapolsek) Kecamatan Mandor Capkala. Ketuanya Alexius Laon, bekas calon Kepala
Desa Sabandut yang dikalahkan Anto Situhu Halawa.
*****
SUATU sore, dikejauhan seseorang tampak tergesa.
Jalannya tertatih-tatih. Ia tidak memakai alat kaki, padahal jalanan beraspal.
Kacamata hitam dipakainya. Didadanya melekat tulisan “Satukan Langkah, Lakukan
Perubahan”, baju kaos bergambar HM.Akil Mochtar-AR.Mecer, pasangan calon
Gubernur-Wakil Gubernur Kalbar dalam pilkada 2007 lalu. “Aku Mambah, asal
Samantakitn” sahutnya mengenalkan diri. Tangannya menjulur, ia mengajak
bersalaman. Terasa tangannya kasar, pertanda pekerja keras. Senyum menghias,
giginya kehitaman, beberapa sudah lepas. Ketika kacamata hitam dilepas, sorot
matanya tajam. Otot tangannya masih terlihat kekar. Samantakitn adalah sebuah
kampong diwilayah Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak sekarang. Ia biasa
dipanggil Tangkulu’, usianya menginjak angka 67 tahun.
Mambah peranakan Cina-Dayak, ayahnya Nya Oku Lie Con,
seorang Cina dan ibunya Anyuk, asal Caokng, Binua Gado’. Kedua orang tuanya
menikah di Caokng, tetapi kemudian memilih tinggal di Samantakitn. Setelah
menikah dengan gadis Sabiris, Mambah pindah ke Mandor. Dari perkawinannya, ia
memiliki tujuh orang anak, tiga laki-laki dan empat perempuan. Ia kakek dari
lima orang cucu.
“sejak muda, saya pandai membuat kun soi (peti mati
Cina)”
“saya belajar membuat kun soi dari bapak”
Sejak tinggal di Mandor, ia memutuskan untuk beralih
profesi. Perubahan social di Mandor memaksanya untuk berhenti jadi tukang kun
soi.
“sudah tidak ada lagi orang yang pesan kun soi,
disini kebanyakan Orang Dayak”
Selama hampir dua puluh tahun, Mambah menjadi
panyagahatn (profesi untuk memimpin upacara/ritual adat). Dalam ritual adat Dayak,
panyangahatn berfungsi untuk nyangahatn, doa litani yang berisi permohonan
kepada pencipta alam semesta, untuk tujuan tertentu. Selain menjadi
panyangahatn, Mambah sekaligus berprofesi sebagai Nyandon (pembaca syair
kematian). Profesi ini, hanya ia sendiri yang mampu. Tidak banyak orang yang
mampu berprofesi ganda seperti Mambah.
“banyak syarat yang harus terpenuhi, salah satunya
sudah menikah adat secara lengkap”
“juga berdasarkan keturunan”
“atau bisa juga karena yang bersangkutan diangkat
secara adat oleh warga”
Tahun 2004 lalu, ia juga memutuskan untuk berhenti
sebagai panyangahatn, ia kemudian digantikan Akun Bayang. Kini, Mambah hanya
berprofesi sebagai Nyandon, sebuah profesi yang sudah sangat langka di
Kecamatan Mandor Capkala. Setiap kali dipanggil Nyandon, Mambah diberi jasa
anam mata nyandon (uang Rp.66.000), sote’ lagor (sebuah piring), sote’ iso’
(sebuah parang), sote’ tapayatn (satu buah tempayan) dan sote’ raakng babotn
(sebuah rahang babi).
“sekarang jadi Nyandon tidak ada guna lagi”
“keluarga yang anggotanya meninggal lebih memilih
doa secara agama”
Agama modern yang umumnya dianut warga sekarang
menyebabkan mereka menghindari dan bahkan cendrung menghilangkan tradisi yang
bernuansa “mistis” ini, karena dianggap telah bertentangan dengan nilai-nilai
iman mereka yang baru. Dibalik kaca mata hitamnya, beberapa butiran bening
menetes. Kulit mukanya berkerut. Tangan kirinya memegangi kepala. Ia sedih,
mungkin juga cemas.
“dia (Mambah) ingin minum (arak), makanya seperti
itu” ujar Kacos.
“wah, kalau gitu, tolong dikasi (arak) secangkir”
“jangaaan,….dia kalau dikasi, akan lama disini”
“Dia kalau minum pasti sampai mabuk”
Kacos adalah ibu pemilik warung disimpang Sabandut.
Menurutnya, setiap hari Mambah pasti datang di toko untuk membeli arak dan
meminumnya hingga mabuk.
“kadang-kadang, ia dijemput anak atau cucunya untuk
pulang”
“bahkan pernah tertidur dijalan raya, ia mabuk
berat”
Mambah adalah potret kehidupan Orang Dayak masa
kini. Barangkali, ia merupakan satu dari ratusan ribu penjaga tradisi local
Dayak yang “hilang” keseimbangan diri karena perubahan zaman. Ia mungkin merasa
telah asing dinegerinya sendiri, sebuah negeri yang katanya beradab, namun
penghormatan terhadap sejarah dan kearifan leluhur memudar, bahkan
meniadakannya. Dibenaknya, mungkin saja masih ada setitik harapan untuk
berubah, memanusiakan manusia-manusia Dayak, yang terlena dengan kekuasaan dan
kedudukan.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar