Senin, 18 Juli 2016

PASANG SURUT IDENTITAS DAYAK (Part I)



Artikel ini adalah bagian pertama dari buku Yohanes Supriadi yang berjudul: "GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN.

Pengantar
Dayak, tetap menjadi sebuah misteri masa lampau, tidak ada dokumentasi yang betul-betul lengkap mengenai tata hidup bangsa ini. Terlepas dari itu, bangsa Dayak sesungguhnya bangsa yang unik, selain sub-sub suku hamper 450-an, bangsa ini juga terdapat pada 3 negara di Asia Tenggara yakni Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia. Dunia melihat bahwa bangsa Dayak adalah bangsa yang besar. Bangsa yang dipenuhi misteri. Ini terlihat dari kepercayaan mereka dalam dunia gaib, yang bagi manusia modern dianggap irrasional. Dalam segi agamapun bangsa ini unik. Disaat agama-agama besar dunia masuk dalam kehidupan mereka, dengan “kelihaiannya” mereka mampu beradaptasi. Meskipun diluar mereka dikenal sebagai Kristen atau Islam, toh kenyataannya mereka tetap memakai agama asli yang dianut secara turun-temurun. Banyak kasus menunjukan hal ini. Tidaklah heran bagi sebagaian orang, bangsa Dayak dikenal sebagai “adaptor” yang sangat baik.
Bangsa dayak sungguh bangsa yang toleran. Ada falsafah hidup yang mengharuskan mereka untuk menerima saja siapapun yang masuk dikehidupan mereka, walaupun orang baru ini kenyataannya merusak diri mereka. ”asu’ maan dimare’ makatn, ahe agi’ talino” (anjing saja diberi makan apalagi manusia). Bila ada orang bertamu kerumahnya, dengan senang hati mereka (tuan rumah) menerima dan melayaninya dengan sangat baik. Mereka menyiapkan daging, telur, dll makanan yang enak-enak yang walapun mereka (dikeluarga itu) hanya setahun sekali menikmati makanan sejenis yang disuguhkan kepada tamu.
Selama hamper sepuluh tahun, saya melakukan penelitian lapangan dan menyusun buku ini. Banyak pihak sudah membantu, karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih, khususnya kepada staf dan pimpinan Yayasan Pangingu Binua, Dosen Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura, dan rekan-rekan saya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Buku ini merupakan hasil dari studi lapangan singkat masyarakat Dayak yang menghuni Propinsi Kalimantan Barat. Lebih utama saya memfokuskan pada kehidupan Dayak Kanayatan dan khususnya kekayaan kosmologi dan pengendapan identitasnya.
Menurut ahli antropologi kelompok suku Kanayatn di klasifikasikan sebagai salah satu sub kelompok Dayak Klemantan, kini sebagian besar mereka mendiami daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Menjalin. Namun, klasifikasi mengenai siapa orang Kanayatn dan bagaimana budaya orang Kanayatn sebenarnya sulit dijelaskan karena masyarakat Kanayatn meminjam banyak aspek budaya dari tetangganya yaitu dari kelompok Melayu dan aspek budaya dari perantau seperti Tionghoa, India, Arab, Barat dan pulau-pulau nusantara lainnya yang datang sejak lama. Perantau tersebut didesak melsayakan perjalanan laut dari tempat asalnya untuk mencari bahan perniagaan, mencari hubungan dengan masyarakat luar dan memuaskan keingintahuan mereka serta mencari tempat yang diharapkan lebih subur dan nyaman.
Buku ini akan membahas aspek cultural, social, kepercayaan dan ritual, ekonomi maupun politik.Perspektif Dayak Kanayatn mengenai aspek-aspek tersebut kelihatannya diabaikan atau dilihat sebagai hal yang dinilai kurang signifikan oleh orang-orang luar. Disampingi aspek tersebut makalah ini juga menyajikan sejarah lisan, mitos-mitos orang Kanayatn yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan informan dan tokoh masyarakat di lokasi Dusun Nangka, Desa Rees serta di Desa Raba yang secara signifikan mengalami “goncangan budaya” dari banyak desa lainnya.
Dalam buku ini yang akan dikemukakan adalah perihal evolusi peradaban orang Dayak dan evolusi peradaban sayalturasi. Dewasa ini perubahan juga disebabkan oleh perilsaya politik maupun bisnis yang kebijaksanaan-kebijaksanaannya berasal dari pusat propinsi, ibu kota negara dan bahkan dari luar negeri yang mengakibatkan perubahan serta dampak pada pola hidup dan lingkungan masyarakat Dayak dilokasi studi.
Secara detil, buku ini lebih menggambarkan pola hidup masyarakat Kanayatn di 3 desa sebagai sebuah tulisan etnografi klasik dari pada memfokuskan pada gaya hidup “kota satelit” di pedalaman, gaya hidup yang sering disajikan oleh media masa Kalimantan Barat maupun nasional. Kebanyakan generalisasi dari orang di luar kelompok Dayak mensteriotipkan suku Dayak sebagai masyarakat yang belum paham memeluk era konsumerisme. Masyarakat Dayak juga dipandang memiliki perabadan yang kurang berkembang seperti yang digambarkan oleh media populer pada waktu kerusuhan etnis beberapa tahun yang lalu. Seandainya aspek kekayaan peradaban masyarakat Dayak termasuk keanekaragaman kosmologi yang menyertainya ditonjolkan maka gambaran yang lebih menarik akan muncul.

Di Kalimantan, tidak seorangpun masyarakat yang menyangsikan bahwa orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people). Uniknya, penggunaan istilah “Dayak” pernah mengalami pasang surut. Meskipun dalam prakteknya, kadang-kadang mereka sendiri belum memahami secara utuh tentang Dayak itu sendiri karena keterbatasan pengetahuan. Hal ini terjadi karena hingga awal tahun 1990-an, sangat jarang buku-buku yang mengupas tentang Dayak di Kalimantan yang ditulis oleh orang Dayak sendiri ataupun oleh orang Indonesia.
Selama hamper dua tahun, saya harus bekerja keras untuk mengumpulkan puluhan buku-buku tentang Dayak, yang kenyataannya lebih banyak ditulis oleh pelancong, pedagang Cina, aparat birokrasi colonial Belanda hingga misionaris katolik, yang tentu saja berbahasa Belanda, Inggris dan bahkan Cina/Mandarin. Buku-buku dimaksud telah ditulis pada abad 17, 18 hingga awal abad ke 19 yang lalu.
Mengenai hal ini, seorang antropolog Dayak menulis:

“saya sudah lebih dua puluh tahun meneliti tentang Dayak, namun di sini (Kalbar,red) sangat sulit mendapatkan referensi. Ada teman di kampus menerangkan pada saya, bila anda ingin mengetahui tentang Kalimantan dan Dayak dimasa lalu, anda harus ke Eropa, khususnya Belanda atau ke Tiongkok, RRC. Tentu saja saya menjadi maklum…” (Atok;2008).

Bila kita baca diliteratur-literatur tersebut, umumnya menulis secara harafiah, kata “Daya” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Dikatakan juga orang Dayak disebut-sebut sebagai orang pegunungan atau orang pedalaman yang menurut asal- usulnya merupakan hasil perkawinan antara ras Negrid dan Weddid yang sebelumnya telah ada di Pulau Kalimantan dengan ras Mongoloid, sebuah ras yang merupakan imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan.
Karena ditulis oleh orang dari beragam profesi, istilah-istilah atau pengelompokan Dayak mengikuti apa yang mereka lihat dan alami sendiri, bukan karena ilmu pengetahuan tertentu. Kita mengenal misalnya ada istilah; Dyak, Daya, dajaker, dayak, dan lain-lain. Dari istilah-istilah ini, yang amat popular dan bertahan hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia adalah “Daya”.
Popularitas kata “Daya” karena ada asumsi, pengalaman buruk masa lalu dari suku ini bahwa orang lain sering mengungkapkan “dasar kau Dayak !” dan sebagainya bilamana sedang kesal, kecewa, marah, atau sedang bersenda gurau. Perkataan-perkataan ini kemudian membuat semacam rasa rendah diri, bagi kelompok Daya dalam berhubungan dengan orang lain.
Secara sengaja, saya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa Identitas Dayak dalam kenyataannya pernah mengalami pasang surut di Kalbar. Pada waktu tertentu orang Dayak berbondong-bondong menjadi Islam dan mengaku diri sebagai Melayu, pada suatu waktu, orang Dayak berbondong-bondong menjadi Kristen dan mengaku diri sebagai Dayak asli dan suatu waktu dalam periode tertentu, Orang Dayak yang sebelumnya beragama Islam kembali berbondong-bondong mengaku diri sebagai Dayak, dengan identitas baru; Dayak Islam.
Fenomena ini tentu saja menjadi menarik, bilamana kita menelusuri lima periode pasang surut identitas Dayak dengan beragam isoleknya; islamisasi, kristenisasi, kesadaran etnisitas, kontemplasi dan konsolidasi dan periode bangga sebagai Dayak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar