Sejarah adalah guru, dengan mengetahui
sejarah, kita dapat berbuat sesuatu untuk masa depan. Dari catatan sejarah yang
berserakan, ternyata penambangan emas, yang kini dikenal dengan nama PETI sudah
sangat lama dikenal masyarakat Kalbar, bahkan ada sebagian kelompok masyarakat
yang menjadikannya pekerjaan pokok. Pertengahan Mei dan awal Juni 2009, terusik
razia PETI oleh aparat keamanan, sekelompok penambang melakukan aksi
demonstrasi hingga aksi anarkis di kantor aparat keamanan di Mandor, Kabupaten
Landak. Bagaimana jejak-jejak emas tersebut ? apa pelajaran penting yang dapat
kita ambil ? bagaimana menyelesaikan persoalan ini dengan “win-win solution” ?
Berikut laporannya.
*******
Mandor hanyalah kota kecil, tepatnya pasar
yang terdiri dari deretan ratusan ruko (rumah toko) berbentuk segi empat.
Jaraknya hanya 88 Km dari Kota Pontianak. Jalannya sangat lebar dan licin
dengan status jalan internasional. Maklum, menuju Kuching-Sarawak, dari Pontianak,
orang akan melewati Kota Mandor. Sebelumnya, Mandor luput dari perhatian
public. Mandor dikenal dunia sejak abad ke-17. Saat itu, masa kejayaan sebuah
republik tertua dunia, yang dikenal dengan Republik Lan Fang. Republik yang
menggunakan nama presiden pertamanya ini di bentuk oleh orang orang Hakka dari
Kwangtung pada akhir abad ke-18 dan berlangsung selama 107 tahun.
Kedatangan kaum Cina di Mandor ditengarai
atas undangan Sultan Mempawah, dengan membawa 10 orang pekerja tambang emas
dari Brunei Darusalam. 10 orang ini dipekerjakan oleh Sultan untuk menambang
emas di Mandor, yang kala itu dibawah kekuasaan Sultan. Atas keberhasilan
tambang, pada tahun 1745, orang Cina didatangkan lagi secara besar-besaran.
Sultan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina ini sebagai wajib rodi,
dan dipekerjakan di tambang-tambang emas kerajaan. Di Kalbar, tenaga kerja Cina
ini terpusat di Monterado, Bodok dan Mandor. Disebutkan, pada permulaan tahun
1740, jumlah orang Cina ini hanya beberapa puluh saja disana, namun karena
perkawinan mereka dengan penduduk Dayak sekitar pertambangan, tahun 1770 orang
Cina di Mandor sudah mencapai 20.000 orang. Jumlah mereka bertambah besar lagi
dengan kedatangan pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan
Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan
Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura hingga akhirnya
menetap di Mandor.
Orang Cina di Mandor, dibawa oleh Lo Fong
Pak dengan membawa sekitar 100 orang. Lo Fong Pak merupakan guru di kampung
Shak Shan Po, Kunyichu, Propinsi Kanton. Mendengar banyak emas di kepulauan
Borneo, ia kemudian berlayar. Lo Fong Pak sempat menetap selama 7 bulan di
Pontianak, tepatnya di Siantan (Parit Pekong sekarang). Dari Siantan, Lo Fong
mendengar sebuah “gunung emas” yang kini dikenal sebagai Gunung Samabue. Dengan
perahu kecil, Lo Fong menyusuri sebuah sungai, yang kini dikenal sebagai sungai
Dayak (anak sungai Segedong di Peniti). Saat itu, Mandor, telah dihuni oleh
suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong (Benuang) didiami
pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal
dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di
sana. Di San King (Air Mati) (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari
daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko. Tiba
di Mandor, Lo Fong menemukan pasar 220 pintu yang dimiliki oleh Mao Yien. Pasar
220 pintu ini terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio
Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu
pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak.
Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu
dengan gelar Lo-Man.
Mengetahui potensi besar untuk merubah
hidup kelompoknya, Lo Fong mendirikan kongsi yang dikenal sebagai Lo Fong
Kongsi. Lo Fong berniat melakukan penyerangan terhadap kongsi-kongsi yang ada.
Namun, cara diplomasi dikedepankan Lo Fong. Suatu hari, Lo Fong mengutus Liu
Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak. Kedua
kelompok ini terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo
Fong Kongsi tanpa pertumpahan darah. Takluknya berbagai kongsi oleh Lan Fong
Kongsi, Lo Fong Pak kemudian mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan
nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi nama republik, Republik Lan
Fong, yang jika dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, berarti sepuluh tahun
lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington
tahun 1787.
Ketika Republik didirikan, warga kongsi
ingin Lo Fong Pak menjadi Sultan (mengikuti sistem kesultanan Sambas dan
Mempawah), namun ia menolak dan memilih kepemerintahan seperti sistem
kepresidenan. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat
sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin Tang Chung
Chang atau Presiden. Ibukota Republik ini adalah Tung Ban Lut (Mandor). Menurut
konstitusi negara ini, baik Presiden maupun Wakil Presiden harus merupakan
orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya
berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin
Lan Fang Ta Tong Chi. Benderanya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan
tulisan huao (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional
bergaya China, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat.
Pada masa pemerintahannya, Lo Fang Pak telah menjalankan system perpajakan, dan
mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan
pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan
ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap
diperhatikan bahkan semakin dikembangkan.
Republik Lan Fang mencapai keberhasilan
besar dalam ekonomi dan stabilitas politik selama 19 tahun pemerintahan Lo Fong
Pak. Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah
tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang,
membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat
di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teo Chiu) untuk berdagang. Sementara dalam
catatan sejarah Lan Fong Kongsi sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka
membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam). Di negara baru yang
dikelilingi rumah-rumah panjang orang Dayak ini, Lo Fong kemudian membangun
rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Lo Fang Pak berusaha
menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu
(danau gunung berhati emas). Presiden Lan Fong merebut paksa kekuasaan Tai-Ko
Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati). Sejak
abad 18, Lo Fong kemudian menguasai seluruh wilayah pertambangan emas Liu Kon
Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Presiden Lo Fang Pak
wafat pada tahun 1795, dimakamkan di Sak Dja Mandor.
Berikut ini nama-nama Presiden Republik Lan
Fang di Mandor:
No Nama Presiden Masa Jabatan Peristiwa
penting
1 Lo Fong Pak 1777-1795 Pendiri dan
Presiden pertama
2 Kong Meu Pak 1795-1799 Republik melakukan
peperangan dengan Kerajaan Mempawah
3 Jak Si Pak 1799-1803 Republik melakukan
peperangan denga Orang Dayak di Lamoanak
4 Kong Meu Pak 1803-1811 Tidak ada
keterangan
5 Sung Chiap Pak 1811-1823 Ekspansi tambang
emas di Ngabang
6 Liu Thoi Nyi 1823-1837 Belanda masuk dan
mulai berpengaruh di Mandor
7 Ku Lik Pak 1837-1842 Konflik dengan
Panembahan Suta di Landak dan mulai berkurang hasil emas
8 Chia Kui Fong 1842-1843 Meninggal karena
pemberontakan ketua-ketua Kongsi
9 Yap Thin Fui 1843-1845 Meninggal karena
pemberontakan ketua-ketua Kongsi
10 Liu Kon Sin 1845-1848 Republik melakukan
lagi peperangan dengan orang Dayak di Binuang, Sangking, dll
11 Liu A Sin 1848-1876 Ekspansi lagi ke
kawasan Landak (Ngabang)
12 Liu Liong Kon 1876-1880 Meninggal karena
pemberontakan ketua kongsi di San King
13 Liu A Sin 1880-1884 Republik di bubarkan
oleh Belanda
Pada masa Presiden Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi
Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah
tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta)
untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik. Penandatanganan pakta
tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong ke dalam kekuasaan Belanda.
Belanda berhasil menduduki Republik Lan Fang, walaupun kongsi tersebut terus
mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul
kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir. Selain itu,
munculnya pemberontakan penduduk Dayak semakin melemahkan pemerintahan Lan
Fong. Di Lamoanak, seratusan Dayak menyerang pusat pemerintahan Lo Fong Pak di
Mandor. Bersama warga lainnya dari Tiang Aji, Bangkawe, Saringkuyakng, dll,
mereka secara membabi buta melakukan perlawanan. Perlawanan Dayak mereda
setelah Republik Lan Fong meminta bantuan Belanda, dan memaksa kelompok Dayak
ini melarikan diri hingga ke Sungai Ambawang dan mendirikan perkampungan
disana, hingga hari ini.
Pasca perlawanan kaum Dayak ini, secara
perlahan, Republik Lan Fang juga kehilangan otonomi dan menjadi sebuah daerah
protektorat Belanda pada tahun 1885 dan membuka perwakilannya di Mandor. Namun,
sungguhpun demikian, Belanda tidak otomatis menguasai seluruh kekayaan
republik, karena takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok.
Belandak tidak pernah menyatakan secara terbuka mengumumkan telah menguasai
Republik Lan Fang, dan tetap membiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi
pemimpin di negara ini. Baru setelah terbentuknya Republik of China (Cung Hwa
Ming Kuok) pada tahun 1911, pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan
menguasai daerah itu (Republik Lan Fang).
Tak disangka, keturunan republik terus
melakukan konsolidasi. Pada tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I,
keturunan republik ini melakukan pemberontakan bersenjata, yang dikenal dengan
Peran Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara) di Mandor Mempawah, Anjungan,
Sei Pinyuh, Purun, Toho, Sanking, Binuang, dan Lamoanak. Mereka juga dibantu
oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan ini
baru berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Mengenang
prajuritnya yang gugur selama peperangan ini, Belanda mendirikan tugu
peringatan di Mandor.
Seiring dengan dikuasainya Republik Lan
Fang oleh Belanda, orang-orang dari republik ini kemudian melarikan diri ke
Sumatra. Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan.
Dari sana mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura. Menurut catatan Rahman
(2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, Belanda memasukkan kembali
distrik Cina di Mandor ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal
dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman
yang “tidak berpihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850.
Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih
disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan
anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap
Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam
pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor. Salah seorang dari keturunan
langsung Republik Lan Fang di Mandor ini, adalah Lee Kuan Yew, yang pernah
menjadi Perdana Menteri Singapura. Ditangan Lee Kuan Yew, kelompok Hakka yang
minoritas di Singapura, menjadi pemegang peranan penting dalam mendirikan
Republik Lan Fang yang kedua di Singapura modern, hingga hari ini.(Edisi cetak,
Tabloid Simpado, edisi I/Juni-Labuh Singal/2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar