Selasa, 19 Juli 2016

BANGGA MENJADI MANUSIA DAYAK




Artikel ini adalah bagian pertama dari buku Yohanes Supriadi yang berjudul: "GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN

Berakhirnya kekuasaan pemerintah Orde Baru pada tahun 1997, memaksa perubahan politik di berbagai daerah di Indonesia. Di Kalbar, momen ini menjadi kristalisasi dari kontemplasi dan konsolidasinya di sepanjang Orde Baru. Pemberlakuan otonomi daerah yang ditandai dengan meluasnya gerakan pemekaran daerah di Kalbar, sedikit banyak mempengaruhi konstelasi politik identitas di Kalbar.
Pada tahun 1998, misalnya, orang Dayak Islam, yang dikenal sebagai senganan oleh Dayak Kristen, mendeklarasikan berdirinya organisasi Ikatan Keluarga Dayak Islam Kalimantan Barat (IKDI). Tentu saja, gerakan kembali ke Dayak ini bagian dari pengaruh banyak aktor yang telah memainkan perannya bagi Orang Dayak, baik positif maupun negatif di penghujung Orde Baru.
Sejak tumbangnya Orde Baru, puluhan daerah bekas swapraja dimasa pemerintahan Belanda menyuarakan pemekaran daerah. Ada 2 kabupaten yang dimekarkan pertama, yaitu Sambas dan Kabupaten Pontianak. Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi dua bagian, Sambas dan Bengkayang sedangkan Kabupaten Pontianak dimekarkan menjadi Kabupaten Landak yang beribukota di Ngabang, bekas pusat pemerintahan Kerajaan Landak.
Pada pemekaran Sambas, dimasa lalu Bengkayang sebenarnya merupakan teritori Kesultanan Sambas sedangkan Singkawang pada dasarnya relatif otonom, kendati harus tetap mengakui kesultanan Sambas. Kecendrungan eksistensi teritori swapraja masa lalu jelas terlihat dengan upaya pemerintah pada tahun 2003 dengan memekarkan Kabupaten Sanggau menjadi Sekadau dan Sanggau dan Kabupaten Sintang menjadi Sintang dan Melawi yang beribukota Nanga Pinoh.
Dalam pemekaran ini, secara umum terlihat kesan bahwa pemerintah secara implisit melegitimasi adanya semacam teritori menurut etnik. Sejak pemekaran, Kabupaten Pontianak yang beribukota di Mempawah seakan berubah menjadi teritori Melayu dan Kabupaten Landak yang berbukota di Ngabang berubah menjadi teritori Dayak, artinya baik Melayu maupun Dayak menjadi etnik mayoritas.
Dalam perkembangannya, tahun 2000, Singkawang juga dimekarkan dari Bengkayang dan seakan menjadi teritori Cina. Berbeda dengan kawasan utara, pemekaran dipedalaman (Sintang dan Sanggau), tidak akan membawa efek yang sama, karena baik sebelum dan sesudah pemekaran, Dayak tetap akan menjadi mayorits disemua wilayah ini.
Perubahan signifikan terjadi di era ini. Kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak tahun 2005, enam kepala daerah sudah terpilih langsung oleh rakyat, hasilnya; kombinasi antar etnik; Dayak-Jawa, Dayak-Melayu, Dayak-Dayak, Dayak-Cina, dan Melayu-Dayak. Pemilihan berlanjut tahun 2006 yang menghasilkan pemimpin: Dayak-Dayak dan Melayu-Melayu. Demikian juga ditahun 2007, pemimpin yang dihasilkan pemilihan ini adalah kombinasi antara Dayak-Cina dan Cina-Melayu.
Praktek-praktek politik identitas yang berlangsung sejak tahun 2005 diatas jelas menggambarkan bahwa, kesadaran identitas banyak etnik di Kalbar berada para taraf maksimal.
Ditengah berlangsungnya drama politik lokal melalui pemilhan kepada daerah secara langsung ini, beberapa aktivis LSM Dayak yang bergelut dengan pendidikan kritis pada masyarakat Dayak sepanjang Orde Baru muncul kepermukaan. Mereka mencalonkan diri sebagai calon Bupati, bahkan menjadi Calon Wakil Gubernur Kalbar.
Namun, sejarah mencatat, budaya kritis yang dikembangkan banyak LSM sepanjang Orde Baru ini tenggelam ditengah kerinduan Dayak pada tokoh-tokoh formal di pemerintahan pada drama politik di Pilkada langsung. Pada era inilah, gerakan LSM semakin mengecil.
Pergumulan-pergumulan kehidupan ditengah-tengah Orang Dayak sepanjang era otonomi daerah terus terjadi, terakhir, mereka berupaya untuk terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Orang Dayak difasilitasi oleh LSM dan beberapa pemerintah daerah yang pemimpinnya orang Dayak untuk bisa sekolah tinggi. Banyak pemerintah daerah, misalnya menyelenggarakan program beasiswa.
Perubahan yang mencolok pada era ini adalah sejak tahun 2000, banyak juga LSM yang didirikan Dayak mulai tidak ekslusif Dayak. LSM mulai melihat Dayak dalam konteks etnosentrisme tetapi Dayak dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme.
Dengan berkembangluasnya kesempatan belajar diperguruan tinggi, sekarang mulai tampak bahwa di berbagai sektor telah ada orang Dayak yang ahli. Tetapi mereka tidak terakomodir dalam bidang pemerintahan. Saat ini misalnya ada orang Dayak dari Landak yang menjadi Rektor di Universitas Katolik di Nairobi Kenya, ada juga yang bekerja di Toronto Kanada, di Roma Italia (semua mereka tak terekspos) ada pula yang menjadi dokter di Amerika Serikat.
Keberhasilan mereka telah menjadi pendorong orang Muda Dayak untuk terus meningkatkan kapasitas SDM. Walaupun jumlah orang Dayak yang terdidik masih sangat sedikit (kira-kira baru 1% dari total populasi Dayak), tetapi hal ini telah melahirkan sikap “mulai bangga menjadi orang Dayak”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar